BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam upaya penyelenggaraan
pembangunan kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu telah melakukan
langkah-langkah dan kebijakan di bidang pembangunan kesehatan dengan visi
“Bengkulu Sehat 2010” yang merupakan gambaran masyarakat Bengkulu di masa depan
yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan yang ditandai dengan
penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata di
seluruh wilayah Provinsi Bengkulu (Dinkes Bengkulu, 2003).
|
Radang telinga tengah, otitis media adalah penyakit yang paling
lazim pada anak. Sesudah infeksi saluran pernafasan ada sekitar 25 juta setiap
tahun mengunjungi dokter anak akibat otitis media. Radang ini adalah diagnosis
yang paling lazim pada anak di Amerika Serikat. Hampir 85% anak mempunyai paling
sedikit satu episode otitis media
akut pada umur 3 tahun dan 50% anak akan mempunyai dua episode atau lebih. Bayi
dan anak kecil beresiko paling tinggi untuk otitis
media, frekuensi insiden adalah 15-20% dengan puncak terjadi dari umur 6-36
bulan, dan 4-6 tahun. Anak yang menderita otitis
media pada umur tahun pertama mempunyai kenaikan resiko penyakit akut
kumat/kronis. Sesudah episode pertama sekitar 40% anak menderita efusi telinga tengah yang menetap selama
4 minggu dan 10% menderita efusi yang
masih ada pada 3 bulan. Insiden penyakit cenderung menurun sebagai fungsi dari
umur sesudah umur 6 tahun. Insiden tinggi pada laki-laki kelompok sosio ekonomi
yang lebih rendah. Suku Amerika Serikat dan lebih tinggi pada orang kulit putih
dan pada orang kulit hitam, insiden juga bertambah pada musim dingin (winter) dan awal musim semi (Efiaty Arsyad Soepardi, 1990).
Otitis media akut adalah penyakit masa
kecil yang umum dengan percabangan penting pada kesehatan secara keseluruhan
dari bayi dan anak kecil. Kejadian puncak dari OMA terjadi usia 6 hingga 18
tahun, tapi juga dapat terjadi pada anak yang lebih tua umurnya. Komplikasi
cepatnya kehilangan pendengaran atau gagap, prevenar
telah terbukti berdampak pada OMA, dalam studi klinik prevenar mengurangi kasus serotine vaksin dari OMA hingga 57%,
kasus OMA Pneumococcal yang semua
kasus OMA hingga 6% di Amerika Serikat kajian menemukan setelah pengenalan prevenat,
tingkat kunjungan pasien rawat jalan OMA turun hingga 20% pada anak-anak
berumur dari 2 tahun. Penyakit pneumococcal
menggambarkan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh bacterium streptococcus pneumonia, juga dikenal sebagai pneumococcus pathogen bacteri ini yang
menyerang anak-anak dan dewasa adalah penyebab penyakit dan kematian utama di
seluruh dunia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) penyakit pneumococcal adalah
penyebab nomor satu yang dapat dicegah oleh vaksin pada anak berusia kurang
dari 5 tahun di seluruh dunia.
Di Indonesia penyakit anak yang perlu
kita waspadai dan cermati adalah penyakit pernafasan akut (ISPA) yang merupakan
penyebab utama kematian anak di bawah usia 5 tahun. Penyakit ISPA banyak
menyerang bayi dan anak, hal ini disebabkan pada saluran pernafasan pada bayi
dan anak ukuran kecil sehingga infeksi lebih mudah menjalar, bayi dan anak daya
tahan tubuh masih lemah sehingga jika terkena ISPA penyakit cepat memburuk (Depkes RI,
2002)
Otitis media terjadi sering diawali
dengan infeksi pada saluran nafas seperti radang tenggorokan/pilek yang
menyebar ke telinga tengah lewat saluran eusthacius,
saat bakteri melalui saluran eustachius
dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut. Sehingga terjadi pembengkakan di
saluran, tersumbatnya saluran dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan
bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri
mereka sendiri sebagai hasilnya terbentuk nanah dalam telinga tengah. Selain
itu pembengkakan jaringan sekitar saluran eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di
belakang gendang telinga. Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat
terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang
telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus),
namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45
desibel (kisaran pembicaraan normal), selain itu telinga juga akan terasa nyeri
dan yang paling berat cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat
merobek gendang telinga karena tekanannya (Ngastiyah, 2005).
Berdasarkan survei awal di RSUD dr.
M. Yunus Bengkulu di poli THT ternyata banyak pasien khususnya anak-anak yang
menderita ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat ke THT. Pada
tahun 2005 pasien yang menderita ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP
sebanyak 40 orang, sedangkan pada tahun 2006 pasien yang menderita ISPA dengan
kejadian komplikasi OMA/OMP berjumlah 30 orang, jadi yang menderita ISPA dengan
kejadian komplikasi OMA/OMP mengalami penurunan dari tahun 2005 berjumlah 40
orang hingga tahun 2006 berjumlah 30 orang.
OMP sama dengan otitis media
supuratif kronis terutama yang dengan kolesteatom, dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada bagian vestibuler labirin, sehingga terbentuk fistula. Pada
keadaan ini infeksi dapat masuk sehingga terjadi labirintis dan akhirnya akan
terjadi komplikasi tuli atau meningitis. Komplikasi otitis media ke susunan
saraf pusat yang paling sering ialah meningitis. Keadaan ini dapat terjadi oleh
otitis media akut, maupun kronis, serta dapat terlokalisasi atau umum
(general), sehingga masa depan anak tersebut tidak baik karena anak tersebut
mengalami gangguan pendengaran.
Berdasarkan latar belakang di atas
penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan umur anak sakit ISPA dengan kejadian
komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
tahun 2006”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah penelitian ini apakah ada hubungan yang signifikan antara
umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di
Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari hubungan antara umur
anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di poliklinik
THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Melihat gambaran umur anak
sakit ISPA kaitannya dengan kejadian komplikasi OMA/OMP.
2.
Untuk mengetahui gambaran
kejadian komplikasi OMA/OMP di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
3.
Melihat hubungan antara umur
anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik
THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Bagi Pendidikan dan Manfaat bagi Peneliti
Manfaat bagi pendidikan sebagai masukan bagi program
ilmu keperawatan STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu, sedangkan manfaat bagi
peneliti sebagai pengalaman belajar dan menambah keterampilan dalam
menganalisis Hubungan umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP
yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
1.4.2
Manfaat Bagi RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
Sebagai masukan informasi tentang hubungan umur anak
sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT di
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
1.4.3
Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan masyarakat terutama keluarga yang menderita ISPA dengan
kejadian komplikasi OMA/OMP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan
Akut)
2.1.1
Pengertian
ISPA adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung (saluran nafas) hingga alveoli (Depkes RI,
2002).
ISPA adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh masuknya kuman ke dalam saluran pernafasan. Yang dimaksud
dengan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses aktif meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 1995).
Infeksi saluran pernafasan adalah
infeksi yang mengenai paru, sistem saraf pusat, dinding dada (Diafragma dan otot intercostals) dan sirkulasi paru, dimana komponen sistem pernafasan
tersebut bekerja sama untuk mencapai pertukaran gas, sehingga jika salah satu
komponen tersebut yang mengalami kelainan, maka mempengaruhi komponen yang lain
(Horrison, 2000).
Infeksi saluran pernafasan dapat
mengenai struktur dan saluran pernafasan di bagian sebelah otot laring (hidung,
sinus, pharing) atau bagian paru
seperti alveoli dan jaringan
paru-paru (Depkes RI, 2000). Pneumonia
merupakan proses infeksi yang mengenai jaringan paru (Depkes RI, 1995).
2.1.2
Etiologi
Etiologi ISPA kebanyakan infeksi
saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus dan mikoplasma (Nelson, 1992). Etiologi ISPA terdiri dari 30 jenis
bakteri, virus dan raketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari streptokokus,
stapilokokus, memokokus, hemofilus, bordetella, dan orine bakterikum (Depkes
RI, 2000).
Beberapa virus yang menyebabkan ISPA
dari gambaran klinis umum yang melibatkan sistem organ lain :
1.
Virus sensikum pernapasan (RSP) adalah penyebab tunggal utama bronkiolitis yang merupakan sepertiga
dari semua kasus. Virus ini merupakan penyebab pneumonia yang sering dijumpai selalu batuk rejan dan bronkilitis.
2.
Virus para influenza sebagian besar dari sindrom
batuk rejan tetapi mungkin pula penyebab bronchitis, bronkiolitis dan penyakit demam saluran pernafasan
atas.
3.
Virus adeno kurang dari 10% penyakit saluran pernafasan. Kebanyakan
diantaranya bersifat ringan sebagian besar bahwa mungkin asimtomatis. Virus-virus adeno
dan virus sinsisium pernafasan pernafasan kadang-kadang menyebabkan infeksi
berat pada saluran pernafasan bagian bawah.
4.
Virus Rino dan virus korona,
biasanya menimbulkan penyakit yang terbatas pada saluran pernafasan bagian atas
saja terutama hidung.
5.
Virus bakteri A dan B
menimbulkan penyakit primer pada nasofaring
mikoplasma dapat menyebabkan penyakit, baik pada saluran pernafasan atas
dan saluran pernafasan bawah yang meliputi bronkilitis,
pneumonia, bronkilitis, faringoton silitis, melingitis dan otitis media (Richard, 1992).
2.1.3
Tanda dan Gejala
Seorang anak yang menderita ISPA
biasa menunjukkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, bersin, sesak,
sakit tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas,
nafas cepat, nafas bunyi, penarikan dada ke dalam, biasa mual, muntah tak mau
makan, badan lemah dan sebagainya (Depkes RI, 1998). Tanda dan gejala ISPA :
1.
ISPA ringan
Batuk, sesak, pilek, dengan ataupun tanpa panas (demam)
termasuk juga ISPA ringan. Keluarnya cairan dari telinga yang lebih dari 2
minggu pada rasa sakit di telinga.
2.
ISPA sedang
Pernafasan cepat lebih dari 50 x / menit (tanda utama), wheezing (nafas menciut-ciut), panas 39oC
atau lebih.
3.
ISPA berat
Tanda dan gejala ISPA ringan/sedang ditambah dengan satu
atau lebih tanda dan gejala : penarikan dada ke dalam (chestindrawing) pada saat menarik nafas (tanda utama). Stridor (pernafasan ngorok), tak mampu
dan tak mau makan. Tanda ISPA antara lain kulit kebiru-biruan (sianosis) nafas cuping hidung (cuping hidung
ikut bergerak kembang kempis sewaktu bernafas), kejang, dehidrasi, terdapat membran
difteri.
Klasifikasi infeksi saluran
pernafasan menurut Depkes RI (1994), yaitu :
1.
Pneumonia berat, bila disertai dengan
sesak nafas yaitu adanya tarikan hidung pada bagian bawah ke dalam pada waktu
balita menarik nafas, nafas cuping hidung dan sianosis.
2.
Pneumonia tak ada tarikan
dinding dada pada bagian bawah ke dalam tetapi disertai nafas cepat batas
adalah untuk 2 bulan-12 bulan 50 x/menit untuk usia 1-5 bulan yaitu 40 x /
menit.
3.
Bukan pneumonia (batuk pilek biasa), tidak ada tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.
Dalam menentukan klasifikasi penyakit dibedakan 2
kelompok yaitu untuk umur 2 bulan-5 tahun dan kelompok untuk umur lebih 2 bulan
:
1.
Untuk kelompok umur 2
bulan-lebih dari 5 tahun klasifikasi dibagi atas : pneumonia berat, pneumonia dan
bukan pneumonia.
2.
Untuk kelompok umur lebih 2
bulan klasifikasi dibagi atas : pneumonia
berat dan bukan pneumonia.
2.1.4
Patofisiologi
Ketahanan saluran pernafasan
terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara sangat tergantung
pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu : utuhnya
epitel mukosa dan gerak mukosalia
makrofag alveoli dan antibody
setempat.
Sudah menjadi suatu kecenderungan
bahwa terjadinya infeksi bacterial mudah
terjadi pada saluran nafas yang telah rusak sel-sel epitel mukosanya yang
disebabkan infeksi-infeksi terdahulu. Keutuhan gerak lapisan mukosa dan sillia dapat terganggu oleh karena asap
rokok dan gas CO2. polutan utama adalah pencemaran udara dan
pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).
Makrofag biasanya banyak terdapat di alveoli dan baru akan dimobilisasi ke
tempat-tempat dimana terjadi infeksi. Asap rokok menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan
alkohol menurunkan mobilitas sel-sel ini.
Menurut Silvia Anderson (1997),
antibody setempat pada saluran nafas adalah IgA yang banyak terdapat di mukosa.
Kurangnya antibody ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan
seperti pada keadaan defisiensi juga akan mengalami hal yang serupa seperti
halnya penderita-penderita yang mendapatkan therapy sitostatik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas (Immune compromised host)
2.1.5
Komplikasi/Akibat Lanjut
1.
Pneumonia
2.
Bronkitis
3.
Bronkopneumonia
2.1.6
Cara Penularan
Penularan bibit penyakit ISPA dapat
terjadi dari penderita penyakit ISPA dan karier yang disebut juga reservoir
bibit penyakit yang ditularkan kepada orang lain melalui kontak langsung, atau
melalui benda-benda yang telah tercemar bibit penyakit, termasuk udara oleh
karena salah satu penularan melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam
tubuh melalui pernafasan, maka penyakit di ISPA termasuk golongan air borne
disease.
Bibit penyakit di udara umumnya
berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang melayang di udara dapat
seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian dari padanya (Depkes RI,
2000). Adapun bentuk aerosol dari
penyebab penyakit ISPA adalah :
1.
Dust yaitu campuran yang melayang di
udara.
2.
Droplet nuclei yaitu sisa dari sekresi
saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di
udara.
Kuman dapat mencapai saluran nafas
dan menimbulkan infeksi (Depkes
RI, 2000) dengan cara :
1.
Hematogen (infeksi di tempat lain).
2.
Limfogen
3.
Perkontinuitatum (dari tempat infeksi
pada jaringan yang berdekatan dengan paru, misalnya abses hati, sub-pherenic, abses dan lain-lain).
4.
Dan yang banyak adalah lewat
jalan nafas/udara.
Kuman yang masuk lewat nafas dapat berasal dari :
1.
Kuman di udara luar (jenisnya
berbagai macam) masuk bersama udara nafas.
2.
Kuman dalam jalan nafas yang
semula bersifat komersial dalam saluran nafas, tetapi karena suatu sebab
berubah menjadi pathogen kemudian
menginfeksi saluran nafas.
Cara penularan ISPA :
1.
Memantau respon fisiologis (frekuensi nafas, nadi, TD,
suhu)
2.
Hentikan aktifitas yang dapat
menyebabkan sesak nafas, batuk-batuk, kelelahan/keletihan.
3.
Jika penyakit bertambah parah
segera bawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
2.2 OMA (Otitis Media Akut)
Pengertian OMA
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian
atau seluruh periosteum telinga tengah (Arif Mansjoer, 1999). Otitis Media Akut (OMA) adalah telinga
tengah biasanya steril, meskipun
terdapat mikroba di nasofaring dan faring (Nurbaiti Iskandar, 1990). Otitis Media Akut (OMA) adalah infeksi akut telinga tengah (Brunner
dan Suddarth, 2002).
Etiologi
Bakteri piogenik seperti streptococcus hemolitiytikus, staphylococcus aureus, pneumokokus, H.
Influenzae, E. Coli, S. anhemolyticus, P. Vulgaris dan P. Aeruginosa.
Penyebab
utama Otitis Media Akut (OMA) adalah
masuknya bakteri patogenik ke dalam
telinga tengah yang normalnya steril
(Brunner dan Suddarth, 2002).
Kuman
penyebab utama kuman Otitis Media Akut (OMA)
adalah bakteri piogenik, seperti streptococcus hemolitiytikus, staphylococcus
aureus, pneumokokus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga hemofilus
influenza, asheria colli, streptococcus anhemolitikus, proteus vulgaris dan
pseudomonas aurugenosa. Hemofilus
influenza sering ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (Efiati
Arsyad Soepardi, 1990).
Patofisiologi
Terjadi akibat terganggunya faktor
pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Faktor
penyebab utama adalah sumbatan tuba eustachius sehingga pencegahan invasi
kuman terganggu. Pencetusnya adalah infeksi saluran nafas atas. penyakit ini
mudah terjadi pada bayi karena tuba
eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis OMA tergantung pada
stadium penyakit dan umur pasien. Stadium OMA berdasarkan perubahan mukosa
telinga tengah. Adapun stadium-stadiumnya adalah sebagai berikut :
1.
Stadium Oklusi Tuba Eustachius.
Terdapat gambaran retraksi
membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Karena
adanya absorbsi udara kadang-kadang membran timfani tampak normal atau
berwarna keruh pucat. Efusi tidak
dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan Otitis
media serosa akibat virus atau alergi.
2.
Stadium Hiperemis
Tampak pembuluh darah melebar di membran timfani atau seluruh membran
timfani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk
mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga
sukar terlihat.
3.
Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga
tengah dan hancurnya sel epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timfani menyebabkan membran timfani menonjol ke arah liang telinga luar. Pada keadaan
ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di
telinga bertambah hebat.
4.
Stadium Perforasi
Karena pemberian antibiotic yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat
terjadi rupture membran timfani dan
nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang semula
gelisah menjadi tenang, suhu badan turun dan dapat tidur nyenyak.
5.
Stadium Resolusi
Bila membran
timfani tetap utuh, maka keadaan membran
timfani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi perforasi maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering.
Komplikasi OMA
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat
menimbulkan komplikasi mulai dari abses
subperioteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang
semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada OMSK.
Mekanisme Otitis Media Akut Bronkitis
Mekanisme akut pada bayi dan anak
yang biasanya bersama juga dengan trakeitis merupakan penyakit infeksi saluran
nafas akut (ISNA) bawah yang sering dijumpai. Penyebab utama penyakit ini
adalah virus. Batuk merupakan gejala yang menonjol dan karena batuk berhubungan
dengan ISNA atas , berarti bahwa peradangan tersebut meliputi laring, trakea,
dan bronkus gangguan ini sering juga disebut laringotrakeo bronchitis akut dan
sering mengenai anak sampai umur 3 tahun dengan gejala suara serak, stridor dan
nafas berbunyi.
Penyebab bronchitis kuat yang paling
sering adalah virus seperti rhinovirus, respiratory sincytial virus (RSV),
virus influenza, virus parainfluenza dan coxsackle virus. Bronchitis akut
sering terdapat pada anak yang menderita morbili, pertusis, dan infeksi
mycoplasma pneumoniae. Infeksi sekunder oleh bakteri dapat terjadi, namun ini
jarang di lingkungan sosio-ekonomi yang baik. Faktor predisposisi terjadinya
bronchitis akut adalah alergi, perubahan cuaca, polusi udara, dan infeksi
saluran napas atau kronik, memudahkan terjadinya bronkitis (Ngastiyah, 2005).
|
Keterangan :
Otitis
Media terbagi atas :
1. Otitis
Media Supuratif
a. Otitis
Media Supuratif akut atau otitis media akut
b. Otitis
Media Supuratif kronik
2. Otitis
Media Non Supuratif / Otitis Media Serosa
a. Otitis
Media Serosa Aku
b. Otitis
Media Kronik
3. Otitis
Media Spesifik, seperti otitis media sifilitika atau otitis media tuberkulosa.
4. Otitis
Media Adhesiva
Gambar 2.
Patogensis terjadinya otitis media OMA-OMP-OMSK/OMP
Penatalaksanaan
Terapi tergantung
pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditunjukkan untuk
mengobati infeksi saluran nafas dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan antipiretik.
1. Stadium
Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka
kembali tuba estachius sehingga
tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes telinga HCl Efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak di atas 12 tahun
dan dewasa. Sumber infeksi lokal harus diobati, antibiotic diberikan bila
penyebabnya kuman.
2. Stadium
Presupurasi
Diberikan
antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik
bila membran timfani sudah terlihat hiperesmis difusi, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian
antibiotic golongan penicillin/eritromisin.
Jika terdapat resistensi dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavulanat/sefalosporin.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4 x 50-100 mg/kg BB, amoksilin 4 x 40 mg/kg BB/hari atau eritromisin 4 x 40 mg/kg BB/hari.
3.
Stadium Supurasi
Selain antibiotic, pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timfani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak
terjadi ruptur.
4.
Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut.
Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam
7-10 hari.
5.
Stadium Resolusi
Membran timfani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi menutup. Bila tidak,
antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu, bila tetap mungkin telah terjadi mastoiditis.
2.3 OMP (Otitis Media Perfolata)
Otitis Media Perfolata sama dengan otitis media supuratif kronis (OMSK), dalam bahasa
sehari-hari di sebut Congek.
Pengertian
OMA/OMP
adalah infeksi kronik telinga tengah dengan perforate
membran timfani dan keluarnya sekret dari telinga tengah secara terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer/kental, bening atau nanah.
Biasanya disertai gangguan pendengaran (Efiaty Arsyad Soepardi, 1990).
Etiologi
Etiologi pada OMP/OMSK ini merupakan
kelanjutan OMA yang prosesnya sudah berjalan lebih dari 2 bulan. Beberapa
faktor penyebab adalah terapi yang terlambat, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh rendah, kebersihan buruk.
Bila kurang dari 2 bulan disebut sub akut. Kuman penyebab biasanya gram positif aerob, sedangkan pada infeksi
yang telah berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram negatif dan anaerob (Nurbaiti Iskandar, 1990).
Patofisiologi
Dibagi dalam 2 jenis yaitu : benigna/tipe mukosa dan maligna atau tipe tulang. Berdasarkan
sekret yang keluar dari kavum timfani secara
aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang.
Pada benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai
tulang, Perforasi terletak di sentral jarang menimbulkan komplikasi berbahaya
dan tidak terdapat kolesteatom.
Sedangkan tipe maligna disertai
dengan kolesteatom. Perforasi terletak
marginal sub total/diatik sering
menimbulkan komplikasi yang berbahaya/fatal (Arif Mansjoer, 1999).
Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh otore, vertigo, tinnitus, rasa penuh di telinga atau gangguan
pendengaran. Mengingat bahaya komplikasi, OMSK
maligna harus dideteksi sejak dini,
beberapa tanda klinis sebagai pedoman adalah perforasi pada marginal/atik, abses atau fistel retriautikuler, polip atau
jaringan granulasi di liang telinga
luar yang berasal dari telinga tengah, kolesteatom
pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah dan berbau khas.
Komplikasi
1.
Paralisis nervus fasialis
2.
Fistula labirin
3.
Labirintitis
4.
Labirintitis supuratif.
5.
Petrositis
6.
Tromboflebitis sinus lateral
7.
Abses ekstradural
8.
Abses subdural
9.
Meningitis
10.
Abses otak
11.
Hidrosefalus otitis
Pemeriksaan Penunjang
Terlihat bayangan kolesteatom
pada foto mastoid.
Penatalaksanaan
Terapinya sering lama dan harus berulang-ulang karena :
1.
Adanya perforasi membran timfani yang permanen.
2.
Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal.
3.
Telah terbentuk jaringan
patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
4.
Gizi dan kebersihan yang
kurang.
Prinsip terapi OMSK
benigna adalah konservatif/medikamentosa bila
sekret keluar terus, diberikan obat cuci telinga yaitu larutan H2O3
3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang dilanjutkan dengan obat tetes
telinga yang mengandung antibiotik dan kartikosteroid
tidak lebih dari 1-2 minggu karena obat bersifat ototoksit. Bila sekret telah kering namun
perforasi tetap ada setelah diobservasi
selama 2 bulan, maka harus dirujuk untuk miringoplasti
atau timpanoplasti.
Prinsip therapy OMSK maligna
adalah pembedahan yaitu mastoidektomi dengan
atau tanpa timpanoplasti. Terapi medikamentosa hanya bersifat sementara
sebelum pembedahan.
2.4
Hubungan Umur Anak Sakit
ISPA dengan Kejadian Komplikasi OMA/OMP
Menurut Nurbaiti
Iskandar (1990) pada umur di bawah 5 tahun anak sering mengalami penyakit ISPA
dengan kejadian komplikasi OMA/OMP. Khususnya pada anak, makin sering anak
terserang infeksi saluran nafas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada
bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan
agak horizontal letaknya. Sedangkan pada orang dewasa, kemungkinan dapat
terjadi tetapi jarang (Efiaty Arsyad Soepardi, 1990).
Otitis media akut
terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba eustachius
merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba
eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga
terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas
(Ngastiyah, 2005).
2.5 Asuhan Keperawatan
Riwayat Kesehatan
1.
Data Dasar Pengkajian
a.
Aktivitas/istirahat
1)
Gejala : - Kelemahan, kelelahan
- Insomnia
2)
Tanda : - Latergi
- Penurunan toleransi terhadap aktivitas
b.
Sirkulasi
1)
Gejala : Riwayat adanya / GJK
kronik
2)
Tanda : - Takikardia
- Penampilan kemerahan atau pucat
c.
Integritas ego
1)
Gejala : Banyaknya stressor,
masalah finansial.
d.
Makanan/cairan
1)
Gejala : - Kehilangan nafsu makan, mual/muntah
2)
Tanda : - Distensi abdomen
- Hiperaktif bunyi usus
- Kulit kering dengan turgor buruk
- Penampilan kakeksia (malnutrisi)
e.
Neurosensori
1)
Gejala : Sakit kepala daerah
frontal (influenza)
2)
Tanda : Perubahan mental
(bingung, somnolen)
f.
Nyeri/kenyamanan
1)
Gejala : - Sakit kepala
- Nyeri di bagian telinga
2)
Tanda : Melindungi area yang
sakit (pasien umumnya tidur pada posisi / sisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)
g.
Pernapasan
1)
Gejala : - Takipnea, dispnea progresif
- Pernapasan dangkal
- Pelebaran nasal
2)
Tanda : - Sputum : merah muda
- Bunyi napas : menurun
- Warna : pucat atau sianosis bibir/kuku.
h.
Keamanan
1)
Gejala : - Riwayat gangguan sistem imun
- Demam (misal : 38,5-39,6oC)
2)
Tanda : - Berkeringat
- Kemerahan/edema pada bagian telinga
i.
Penyuluhan/pembelajaran
1)
Gejala : Riwayat mengalami
pembedahan, penggunaan alkohol kronis.
2)
Pertimbangan : DRG menunjukkan
rerata lama dirawat : 6,8 hari
3)
Rencana pemulangan :
a)
Bantuan dengan perawatan diri
b)
Tugas pemeliharaan rumah
2.
Prioritas Keperawatan
a.
Mempertahankan / memperbaiki
fungsi pendengaran
b.
Mencegah komplikasi
c.
Mendukung proses penyembuhan
d.
Memberikan informasi tentang
proses penyakit/prognosis dan pengobatan.
3.
Tujuan Pemulangan
a.
Fungsi pendengaran sudah
membaik untuk kebutuhan individu
b.
Komplikasi
dicegah/diminimalkan.
c.
Proses penyakit/prognosis dan
program terapi dipahami.
d.
Perubahan pola hidup
teridentifikasi/dilakukan untuk mencegah kekambuhan
Diagnosa Keperawatan yang
Mungkin Timbul
1.
Nyeri akut berhubungan dengan
peradangan di bagian telinga
2.
Ansietas berhubungan dengan
prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran.
3.
Resiko terhadap infeksi
berhubungan dengan mastoidektomi.
4.
Perubahan persepsi sensori
auditoris berhubungan dengan kelainan telinga/adanya benda asing di telinga.
5.
Resiko terhadap trauma
berhubungan dengan kesulitan keseimbangan/ vertigo selama periode pasca
operatif segera.
6.
Perubahan persepsi sensori
berhubungan dengan potensial kerusakan saraf korda timpani.
7.
Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan pembedahan telinga.
8.
Kurang pengetahuan mengenai
penyakit mastoid berhubungan dengan kurangnya informasi.
9.
Pola nafas tak efektif
berhubungan dengan penurunan energi, kelemahan.
10.
Nyeri (akut) berhubungan dengan
inflamasi parenkim paru
11.
Intoleransi / aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Rencana Asuhan Keperawatan
1.
Nyeri akut berhubungan dengan
peradangan di bagian telinga
Tujuan : Masalah nyeri akut dapat teratasi
Kriteria : - Tidak memperlihatkan nyeri/mengernyitkan
wajah, mengeluh atau menangis
- Meminum analgetik bila diperlukan
Intervensi :
a. Tentukan karakteristik nyeri
berdasarkan deskripsi pasien.
Rasional : Menetapkan dasar untuk mengkaji perbaikan/
perubahan-perubahan
b. Kaji derajat ketidaknyamanan / nyeri
Rasional : Derajat nyeri secara langsung berhubungan
dengan luasnya kekurangan sirkulasi. Proses inflamasi, derajat hipoksia dan
edema luas sehubungan dengan terbentuknya trombus.
c. Pertahankan tirah baring selama fase
akut
Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan
kontraksi otot dan gerakan
d. Pantau tanda vital, catat peninggian
suhu
Rasional : Peninggian frekuensi jantung dapat menunjukkan
peningkatan nyeri/ ketidaknyamanan atau terjadi respons terhadap demam dan
proses inflamasi.
e. Berikan obat sesuai indikasi :
1)
Analgesik
Rasional : Mengurangi nyeri dan menurunkan tegangan otot
2)
Antipiretik,
contoh : asetaminofen
Rasional : Menurunkan demam dan inflamasi. Catatan :
resiko perdarahan mungkin meningkat oleh adanya penggunaan obat yang
mempengaruhi fungsi trombosit.
2.
Ansietas berhubungan dengan
prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran.
Tujuan : Masalah ansietas dapat teratasi
Kriteria : - Melaporkan takut/ ansietas hilang atau menurun sampai tingkat yang
dapat ditangani
- Penampilan rileks dan istirahat tidur dengan
tepat
Intervensi :
a. Catat derajat ansietas dan takut.
Informasikan pasien/orang terdekat bahwa perasaannya normal dan dorong
mengekspresikan perasaan.
Rasional : Pemahaman bahwa perasaan (dimana berdasarkan
situasi stress di bawah ketidakseimbangan oksigen yang mengancam). Normal dapat
membantu pasien meningkat beberapa perasaan kontrol emosi.
b. Jelaskan proses penyakit dan prosedur
dalam tingkat kemampuan pasien untuk memahami dan menangani informasi
Rasional : Menghilangkan ansietas karena ketidaktahuan
dan menurunkan takut tentang keamanan pribadi. Pada fase dini penjelasan perlu
diulang dengan sering dan singkat karena pasien mengalami penurunan lingkup
perhatian.
c. Berikan tindakan kenyamanan, misal :
pijatan punggung, perubahan posisi
Rasional : Alat untuk menurunkan stress dan perhatian tak
langsung untuk meningkatkan relaksasi dan kemampuan koping.
d. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
perilaku membantu, misal : posisi yang nyaman, teknik relaksasi
Rasional : Memberikan pasien tindakan mengontrol untuk
menurunkan ansietas dan tegangan otot
e. Tinggal dengan pasien atau membuat
perjanjian dengan seseorang untuk menunggu selama serangan akut.
Rasional : Membantu dalam menurunkan ansietas yang
berhubungan dengan penolakan adanya dispnea berat/perasaan mau pingsan.
f. Kembangkan program aktivitas dalam
batas kemampuan fisik
Rasional : Memberikan kesehatan untuk membentuk energi
dengan perasaan.
3.
Resiko terhadap infeksi berhubungan
dengan mastoidektomi
Tujuan : Masalah resiko tinggi terhadap infeksi dapat
teratasi
Kriteria : - Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi
- Menunjukkan teknik/ melakukan perubahan pola
hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman
Intervensi :
a.
Kaji patologi penyakit
(aktif/fase aktif, diseminasi infeksi melalui bronkus untuk membatasi jaringan
atau melalui aliran darah / sistem limfatik)
Rasional : Membantu pasien menyadari/ menerima perlunya
mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang/komplikasi.
b.
Identifikasi orang lain yang
beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib/ teman
Rasional : Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi
obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi
c.
Kaji tindakan kontrol infeksi
sementara, contoh masker atau isolasi pernapasan
Rasional : Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien
dan membuang shema sosial sehubungan dengan penyakit menular.
d.
Awasi suhu sesuai indikasi
Rasional : Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
e.
Dorong memilih/mencerna makanan
seimbang
Rasional : Adanya anoreksia dan atau malnutrisi sebelumnya
merendahkan tahanan terhadap proses infeksi dan mengganggu penyembuhan
4.
Pola nafas tak efektif
berhubungan dengan inflamasi trakeabronkial, pembentukan udema, peningkatan
produksi sputum.
Tujuan : Pola nafas menjadi efektif
Kriteria : - Bunyi napas normal
- Tak ada dispnea dan sianosis.
Intervensi :
a.
Berikan cairan sedikitnya 2500
ml/hari (kecuali kontraindikasi)
Rasional : Cairan
(khususya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
b.
Berikan obat sesuai indikasi :
mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, analgesik.
Rasional : Alat
untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret. Analgesik diberikan
untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus
digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan upaya batuk/menekan
pernapasan.
c.
Bantu pasien latihan nafas
sering
Rasional : Napas
dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan napas lebih kecil.
5.
Nyeri (akut) berhubungan dengan
inflamasi parenkim paru
Tujuan : Rasa nyeri hilang
Kriteria : - Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi
- Menunjukkan teknik/ melakukan perubahan pola
hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman
Intervensi :
a.
Anjurkan dan bantu pasien dalam
teknik menekan dada selama episode batuk.
Rasional : Alat
untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya
batuk.
b.
Tentukan karakteristik nyeri,
misal : tajam, konstan, ditusuk.
Rasional : Nyeri
dada, biasanya ada dalam beberapa derajat pada pneumonia.
c.
Anjurkan pembersihan mulut
dengan sering
Rasional : Pernapasan
mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa,
potensial ketidaknyamanan umum.
6.
Intoleransi/aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan : Masalah resiko tinggi terhadap infeksi dapat
teratasi
Kriteria : - Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi
- Menunjukkan teknik/ melakukan perubahan pola
hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman
Intervensi :
a.
Bantu pasien memilih posisi
nyaman untuk istirahat dan/atau tidur.
Rasional : Pasien
mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi, atau menunduk kedepan meja
atau bantal.
b.
Bantu aktivitas perawatan diri
yang diperlukan berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
Rasional : Memininalkan
kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
2.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan
tinjauan teori umur anak penderita ISPA menjadi variabel independent, sedangkan
pada penelitian ini yang mengalami komplikasi OMA/OMP merupakan dependent,
diukur dengan menggunakan pengumpulan data.
Untuk lebih
jelasnya uraian tentang kerangka konsep maka peneliti menyusun
variabel-variabel seperti di bawah ini :
|
2.7 Definisi Operasional
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Cara Ukur
|
Alat Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
1
|
Independent
Umur anak penderita ISPA
|
Balita = 0-5 tahun
Anak non Balita
6-12 tahun
|
Dokumen tasi
|
Check list
|
Balita 0-5 tahun skor = 1
Non Balita 6-12 tahun skor = 0
|
Ordinal
|
2
|
Dependent
OMA
OMP
|
Peradangan akut sebagian/ seluruh periostenum telinga tengah
Infeksi kronik telinga tengah dengan perforate membran timpani dan
keluarnya secret dari telinga tengah secara terus menerus atau hilang timbul.
|
Dokumen tasi
|
Check list
|
OMA/OMP
Ya skor = 1
OMA/OMP
Tidak skor = 0
|
Ordinal
|
2.8 Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara
umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di
Poliklinik THT RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
Ha : Ada
hubungan yang signifikan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi
OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi
penelitian dilakukan di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dan objek penelitian adalah
semua pasien ISPA yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
dari tahun 2006 sampai dengan Maret 2007. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada
bulan Juni dan Juli 2007.
3.2
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien penderita ISPA anak
yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dari tahun 2006 sampai dengan Maret 2007. Penentuan
sampel dalam penelitian ini adalah semua anak dengan ISPA yang berobat di
Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dari tahun 2006 sampai dengan
Maret 2007.
3.3
Desain Penelitian
Desain
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara deskriptif kuantitatif.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dengan menggunakan dokumentasi adalah data yang
diperoleh dari hasil dokumentasi/rekam medik selama bulan Juni dan Juli 2007.
3.5
Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data
yang telah dikumpulkan dilakukan dengan bantuan program seperti komputer,
melalui beberapa tahap antara lain :
1.
Editing yaitu untuk melihat apakah isi
jawaban/data yang akan diolah tersebut sudah tersedia lengkap dan apakah sudah
relevan dengan tujuan penelitian.
2.
Coding yaitu kode pada setiap jawaban. Penelitian
memberi kode terhadap jawaban yang diberikan responden agar lebih mudah dan
sederhana.
3.
Entry yaitu memasukkan data yang sudah
dilakukan editing dan coding tersebut ke dalam komputer dan
menggunakan perangkat lunak komputer.
4.
Clearing, yaitu untuk memastikan apakah
semua data sudah siap dianalisis.
Dilanjutkan dengan pengujian secara statistik dengan
menggunakan uji statistik.
3.6
Teknik Analisis Data
1.
Analisis Univariat yaitu untuk
melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel.
2.
Analisis Bivariat yaitu untuk
melihat hubungan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP
dengan menggunakan uji statistik Chi-square.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ke 3. Media Aesculapius. FKUI : Jakarta.
Brunner dan Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Vol. 3. EGC : Jakarta.
Depkes RI. (1994). Buku Pedoman
Pelaksanaan Program Penyakit ISPA. Depkes RI : Jakarta.
--------------. (1995). Bimbingan Keterampilan Dalam Tatalaksana Penderita ISPA Pada Anak. Depkes RI : Jakarta.
--------------. (1998). Penatalaksanaan Penderita ISPA dan Diare Untuk Petugas Kesehatan. Depkes RI : Jakarta.
--------------. (2000). Pedoman Pemberantasan Penyakit Menular. Depkes
RI : Jakarta.
--------------. (2002). Pedoman Kajian dan Pemanfaatan Penimbangan Bulanan Anak Balita. Depkes RI : Jakarta.
Dinkes Provinsi Bengkulu. (2003). Profil Kesehatan Bengkulu Tahun 2002. Bengkulu
Effiaty Arsyad Soepardi (1990). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan Edisi ke 4. EGC
: Jakarta.
Horrison (2000). Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi. 11, EGC : Jakarta.
Nelson. (1992). Ilmu
Kesehatan Anak, EGC : Jakarta.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. EGC : Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2002). Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.
Nurbaiti Iskandar. (2001). Buku Telinga Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi Kelima. FKUI
: Jakarta.
Richard. (1992). Ilmu
Penyakit ISPA. Jakarta.
Sylvia Anderson. (1997). Patofisiologi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
Widjaja C. Anton. (2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang. EGC
: Jakarta.
--------------------------------. Program Untuk Pengawasan Infeksi Saluran
Akut. EGC : Jakarta.
No comments:
Post a Comment