Friday, 22 May 2015

HUBUNGAN UMUR ANAK SAKIT ISPA DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI OMA/OMP



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Dalam upaya penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu telah melakukan langkah-langkah dan kebijakan di bidang pembangunan kesehatan dengan visi “Bengkulu Sehat 2010” yang merupakan gambaran masyarakat Bengkulu di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan yang ditandai dengan penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata di seluruh wilayah Provinsi Bengkulu (Dinkes Bengkulu, 2003).
1
 
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang. Infeksi saluran pernafasan akut ini menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan kematian pada anak usia di bawah 5 tahun, pada setiap tahunnya sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi. Hasil penelitian fungsi paru di negara sedang berkembang menunjukkan bahwa kasus pneumonia berat pada anak disebabkan oleh bakteri, biasanya streptococcus pneumonia atau haemophillus influenza. Hal ini bertolak belakang dengan situasi di negara maju, yang penyebab utamanya adalah virus (Program untuk pengawasan infeksi saluran pernafasan akut, 2003).
Radang telinga tengah, otitis media adalah penyakit yang paling lazim pada anak. Sesudah infeksi saluran pernafasan ada sekitar 25 juta setiap tahun mengunjungi dokter anak akibat otitis media. Radang ini adalah diagnosis yang paling lazim pada anak di Amerika Serikat. Hampir 85% anak mempunyai paling sedikit satu episode otitis media akut pada umur 3 tahun dan 50% anak akan mempunyai dua episode atau lebih. Bayi dan anak kecil beresiko paling tinggi untuk otitis media, frekuensi insiden adalah 15-20% dengan puncak terjadi dari umur 6-36 bulan, dan 4-6 tahun. Anak yang menderita otitis media pada umur tahun pertama mempunyai kenaikan resiko penyakit akut kumat/kronis. Sesudah episode pertama sekitar 40% anak menderita efusi telinga tengah yang menetap selama 4 minggu dan 10% menderita efusi yang masih ada pada 3 bulan. Insiden penyakit cenderung menurun sebagai fungsi dari umur sesudah umur 6 tahun. Insiden tinggi pada laki-laki kelompok sosio ekonomi yang lebih rendah. Suku Amerika Serikat dan lebih tinggi pada orang kulit putih dan pada orang kulit hitam, insiden juga bertambah pada musim dingin (winter) dan awal musim semi  (Efiaty Arsyad Soepardi, 1990).
Otitis media akut adalah penyakit masa kecil yang umum dengan percabangan penting pada kesehatan secara keseluruhan dari bayi dan anak kecil. Kejadian puncak dari OMA terjadi usia 6 hingga 18 tahun, tapi juga dapat terjadi pada anak yang lebih tua umurnya. Komplikasi cepatnya kehilangan pendengaran atau gagap, prevenar telah terbukti berdampak pada OMA, dalam studi klinik prevenar mengurangi kasus serotine vaksin dari OMA hingga 57%, kasus OMA Pneumococcal yang semua kasus OMA hingga 6% di Amerika Serikat kajian menemukan setelah pengenalan prevenat, tingkat kunjungan pasien rawat jalan OMA turun hingga 20% pada anak-anak berumur dari 2 tahun. Penyakit pneumococcal menggambarkan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh bacterium streptococcus pneumonia, juga dikenal sebagai pneumococcus pathogen bacteri ini yang menyerang anak-anak dan dewasa adalah penyebab penyakit dan kematian utama di seluruh dunia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) penyakit pneumococcal adalah penyebab nomor satu yang dapat dicegah oleh vaksin pada anak berusia kurang dari 5 tahun di seluruh dunia.
Di Indonesia penyakit anak yang perlu kita waspadai dan cermati adalah penyakit pernafasan akut (ISPA) yang merupakan penyebab utama kematian anak di bawah usia 5 tahun. Penyakit ISPA banyak menyerang bayi dan anak, hal ini disebabkan pada saluran pernafasan pada bayi dan anak ukuran kecil sehingga infeksi lebih mudah menjalar, bayi dan anak daya tahan tubuh masih lemah sehingga jika terkena ISPA penyakit cepat memburuk (Depkes RI, 2002)
Otitis media terjadi sering diawali dengan infeksi pada saluran nafas seperti radang tenggorokan/pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran eusthacius, saat bakteri melalui saluran eustachius dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut. Sehingga terjadi pembengkakan di saluran, tersumbatnya saluran dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri sebagai hasilnya terbentuk nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga. Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus), namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal), selain itu telinga juga akan terasa nyeri dan yang paling berat cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya (Ngastiyah, 2005).
Berdasarkan survei awal di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu di poli THT ternyata banyak pasien khususnya anak-anak yang menderita ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat ke THT. Pada tahun 2005 pasien yang menderita ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP sebanyak 40 orang, sedangkan pada tahun 2006 pasien yang menderita ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP berjumlah 30 orang, jadi yang menderita ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP mengalami penurunan dari tahun 2005 berjumlah 40 orang hingga tahun 2006 berjumlah 30 orang.
OMP sama dengan otitis media supuratif kronis terutama yang dengan kolesteatom, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin, sehingga terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk sehingga terjadi labirintis dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli atau meningitis. Komplikasi otitis media ke susunan saraf pusat yang paling sering ialah meningitis. Keadaan ini dapat terjadi oleh otitis media akut, maupun kronis, serta dapat terlokalisasi atau umum (general), sehingga masa depan anak tersebut tidak baik karena anak tersebut mengalami gangguan pendengaran.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006”.

1.2    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini apakah ada hubungan yang signifikan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Mempelajari hubungan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.
1.3.2    Tujuan Khusus
1.      Melihat gambaran umur anak sakit ISPA kaitannya dengan kejadian komplikasi OMA/OMP.
2.      Untuk mengetahui gambaran kejadian komplikasi OMA/OMP di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
3.      Melihat hubungan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1     Manfaat Bagi Pendidikan dan Manfaat bagi Peneliti
Manfaat bagi pendidikan sebagai masukan bagi program ilmu keperawatan STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu, sedangkan manfaat bagi peneliti sebagai pengalaman belajar dan menambah keterampilan dalam menganalisis Hubungan umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
1.4.2     Manfaat Bagi RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
Sebagai masukan informasi tentang hubungan umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
1.4.3     Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat terutama keluarga yang menderita ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
2.1.1        Pengertian
ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran nafas) hingga alveoli (Depkes RI, 2002).
ISPA adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh masuknya kuman ke dalam saluran pernafasan. Yang dimaksud dengan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses aktif meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 1995).
Infeksi saluran pernafasan adalah infeksi yang mengenai paru, sistem saraf pusat, dinding dada (Diafragma dan otot intercostals) dan sirkulasi paru, dimana komponen sistem pernafasan tersebut bekerja sama untuk mencapai pertukaran gas, sehingga jika salah satu komponen tersebut yang mengalami kelainan, maka mempengaruhi komponen yang lain (Horrison, 2000).
Infeksi saluran pernafasan dapat mengenai struktur dan saluran pernafasan di bagian sebelah otot laring (hidung, sinus, pharing) atau bagian paru seperti alveoli dan jaringan paru-paru (Depkes RI, 2000).  Pneumonia merupakan proses infeksi yang mengenai jaringan paru (Depkes RI, 1995).

2.1.2        Etiologi
Etiologi ISPA kebanyakan infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus dan mikoplasma (Nelson, 1992). Etiologi ISPA terdiri dari 30 jenis bakteri, virus dan raketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari streptokokus, stapilokokus, memokokus, hemofilus, bordetella, dan orine bakterikum (Depkes RI, 2000).
Beberapa virus yang menyebabkan ISPA dari gambaran klinis umum yang melibatkan sistem organ lain :
1.    Virus sensikum pernapasan (RSP) adalah penyebab tunggal utama bronkiolitis yang merupakan sepertiga dari semua kasus. Virus ini merupakan penyebab pneumonia yang sering dijumpai selalu batuk rejan dan bronkilitis.
2.    Virus para influenza sebagian besar dari sindrom batuk rejan tetapi mungkin pula penyebab bronchitis, bronkiolitis dan penyakit demam saluran pernafasan atas.
3.    Virus adeno kurang dari 10% penyakit saluran pernafasan. Kebanyakan diantaranya bersifat ringan sebagian besar bahwa mungkin asimtomatis. Virus-virus adeno dan virus sinsisium pernafasan pernafasan kadang-kadang menyebabkan infeksi berat pada saluran pernafasan bagian bawah.
4.    Virus Rino dan virus korona, biasanya menimbulkan penyakit yang terbatas pada saluran pernafasan bagian atas saja terutama hidung.
5.    Virus bakteri A dan B menimbulkan penyakit primer pada nasofaring mikoplasma dapat menyebabkan penyakit, baik pada saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah yang meliputi bronkilitis, pneumonia, bronkilitis, faringoton silitis, melingitis dan otitis media (Richard, 1992).

2.1.3        Tanda dan Gejala
Seorang anak yang menderita ISPA biasa menunjukkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, bersin, sesak, sakit tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas, nafas cepat, nafas bunyi, penarikan dada ke dalam, biasa mual, muntah tak mau makan, badan lemah dan sebagainya (Depkes RI, 1998). Tanda dan gejala ISPA :
1.      ISPA ringan
Batuk, sesak, pilek, dengan ataupun tanpa panas (demam) termasuk juga ISPA ringan. Keluarnya cairan dari telinga yang lebih dari 2 minggu pada rasa sakit di telinga.
2.      ISPA sedang
Pernafasan cepat lebih dari 50 x / menit (tanda utama), wheezing (nafas menciut-ciut), panas 39oC atau lebih.
3.      ISPA berat
Tanda dan gejala ISPA ringan/sedang ditambah dengan satu atau lebih tanda dan gejala : penarikan dada ke dalam (chestindrawing) pada saat menarik nafas (tanda utama). Stridor (pernafasan ngorok), tak mampu dan tak mau makan. Tanda ISPA antara lain kulit kebiru-biruan (sianosis) nafas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak kembang kempis sewaktu bernafas), kejang, dehidrasi, terdapat membran difteri.
Klasifikasi infeksi saluran pernafasan menurut Depkes RI (1994), yaitu :
1.      Pneumonia berat, bila disertai dengan sesak nafas yaitu adanya tarikan hidung pada bagian bawah ke dalam pada waktu balita menarik nafas, nafas cuping hidung dan sianosis.
2.      Pneumonia tak ada tarikan dinding dada pada bagian bawah ke dalam tetapi disertai nafas cepat batas adalah untuk 2 bulan-12 bulan 50 x/menit untuk usia 1-5 bulan yaitu 40 x / menit.
3.      Bukan pneumonia (batuk pilek biasa), tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.
Dalam menentukan klasifikasi penyakit dibedakan 2 kelompok yaitu untuk umur 2 bulan-5 tahun dan kelompok untuk umur lebih 2 bulan :
1.      Untuk kelompok umur 2 bulan-lebih dari 5 tahun klasifikasi dibagi atas : pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia.
2.      Untuk kelompok umur lebih 2 bulan klasifikasi dibagi atas : pneumonia berat dan bukan pneumonia.

2.1.4        Patofisiologi
Ketahanan saluran pernafasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu : utuhnya epitel mukosa dan gerak mukosalia makrofag alveoli dan antibody setempat.
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa terjadinya infeksi bacterial mudah terjadi pada saluran nafas yang telah rusak sel-sel epitel mukosanya yang disebabkan infeksi-infeksi terdahulu. Keutuhan gerak lapisan mukosa dan sillia dapat terganggu oleh karena asap rokok dan gas CO2. polutan utama adalah pencemaran udara dan pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).
Makrofag biasanya banyak terdapat di alveoli dan baru akan dimobilisasi ke tempat-tempat dimana terjadi infeksi. Asap rokok menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan alkohol menurunkan mobilitas sel-sel ini.
Menurut Silvia Anderson (1997), antibody setempat pada saluran nafas adalah IgA yang banyak terdapat di mukosa. Kurangnya antibody ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan seperti pada keadaan defisiensi juga akan mengalami hal yang serupa seperti halnya penderita-penderita yang mendapatkan therapy sitostatik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas (Immune compromised host)

2.1.5        Komplikasi/Akibat Lanjut
1.      Pneumonia
2.      Bronkitis
3.      Bronkopneumonia

2.1.6        Cara Penularan
Penularan bibit penyakit ISPA dapat terjadi dari penderita penyakit ISPA dan karier yang disebut juga reservoir bibit penyakit yang ditularkan kepada orang lain melalui kontak langsung, atau melalui benda-benda yang telah tercemar bibit penyakit, termasuk udara oleh karena salah satu penularan melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, maka penyakit di ISPA termasuk golongan air borne disease.
Bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang melayang di udara dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian dari padanya (Depkes RI, 2000). Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA adalah :
1.      Dust yaitu campuran yang melayang di udara.
2.      Droplet nuclei yaitu sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di udara.
Kuman dapat mencapai saluran nafas dan menimbulkan infeksi (Depkes RI, 2000) dengan cara :
1.      Hematogen (infeksi di tempat lain).
2.      Limfogen
3.      Perkontinuitatum (dari tempat infeksi pada jaringan yang berdekatan dengan paru, misalnya abses hati, sub-pherenic, abses dan lain-lain).
4.      Dan yang banyak adalah lewat jalan nafas/udara.
Kuman yang masuk lewat nafas dapat berasal dari :
1.      Kuman di udara luar (jenisnya berbagai macam) masuk bersama udara nafas.
2.      Kuman dalam jalan nafas yang semula bersifat komersial dalam saluran nafas, tetapi karena suatu sebab berubah menjadi pathogen kemudian menginfeksi saluran nafas.
Cara penularan ISPA :
1.      Memantau respon fisiologis (frekuensi nafas, nadi, TD, suhu)
2.      Hentikan aktifitas yang dapat menyebabkan sesak nafas, batuk-batuk, kelelahan/keletihan.
3.      Jika penyakit bertambah parah segera bawa ke pelayanan kesehatan terdekat.


2.2    OMA (Otitis Media Akut)
Pengertian OMA
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Arif Mansjoer, 1999). Otitis Media Akut (OMA) adalah telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring (Nurbaiti Iskandar, 1990). Otitis Media Akut (OMA) adalah infeksi akut telinga tengah (Brunner dan Suddarth, 2002).

Etiologi
Bakteri piogenik seperti streptococcus hemolitiytikus, staphylococcus aureus, pneumokokus, H. Influenzae, E. Coli, S. anhemolyticus, P. Vulgaris dan P. Aeruginosa.
Penyebab utama Otitis Media Akut (OMA) adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang normalnya steril (Brunner dan Suddarth, 2002).
Kuman penyebab utama kuman Otitis Media Akut (OMA) adalah bakteri piogenik, seperti streptococcus hemolitiytikus, staphylococcus aureus, pneumokokus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga            hemofilus influenza, asheria colli, streptococcus anhemolitikus, proteus vulgaris dan pseudomonas aurugenosa. Hemofilus influenza sering ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (Efiati Arsyad Soepardi, 1990).
Patofisiologi
Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Faktor penyebab utama adalah sumbatan tuba eustachius sehingga pencegahan invasi kuman terganggu. Pencetusnya adalah infeksi saluran nafas atas. penyakit ini mudah terjadi pada bayi karena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis OMA tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien. Stadium OMA berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah. Adapun stadium-stadiumnya adalah sebagai berikut :
1.      Stadium Oklusi Tuba Eustachius.
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Karena adanya absorbsi udara kadang-kadang membran timfani tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan Otitis media serosa akibat virus atau alergi.
2.      Stadium Hiperemis
Tampak pembuluh darah melebar di membran timfani atau seluruh membran timfani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga sukar terlihat.
3.      Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timfani  menyebabkan membran timfani menonjol ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.
4.      Stadium Perforasi
Karena pemberian antibiotic yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi rupture membran timfani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun dan dapat tidur nyenyak. 
5.      Stadium Resolusi
Bila membran timfani tetap utuh, maka keadaan membran timfani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi perforasi maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering.

Komplikasi OMA
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi mulai dari abses subperioteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada OMSK.
Mekanisme Otitis Media Akut Bronkitis
Mekanisme akut pada bayi dan anak yang biasanya bersama juga dengan trakeitis merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut (ISNA) bawah yang sering dijumpai. Penyebab utama penyakit ini adalah virus. Batuk merupakan gejala yang menonjol dan karena batuk berhubungan dengan ISNA atas , berarti bahwa peradangan tersebut meliputi laring, trakea, dan bronkus gangguan ini sering juga disebut laringotrakeo bronchitis akut dan sering mengenai anak sampai umur 3 tahun dengan gejala suara serak, stridor dan nafas berbunyi.
Penyebab bronchitis kuat yang paling sering adalah virus seperti rhinovirus, respiratory sincytial virus (RSV), virus influenza, virus parainfluenza dan coxsackle virus. Bronchitis akut sering terdapat pada anak yang menderita morbili, pertusis, dan infeksi mycoplasma pneumoniae. Infeksi sekunder oleh bakteri dapat terjadi, namun ini jarang di lingkungan sosio-ekonomi yang baik. Faktor predisposisi terjadinya bronchitis akut adalah alergi, perubahan cuaca, polusi udara, dan infeksi saluran napas atau kronik, memudahkan terjadinya bronkitis (Ngastiyah, 2005).





Otitis Media Akut (OMA)
 
Bagan Otitis Media


 







Keterangan :
Otitis Media terbagi atas :
1.      Otitis Media Supuratif
a.       Otitis Media Supuratif akut atau otitis media akut
b.      Otitis Media Supuratif kronik
2.      Otitis Media Non Supuratif / Otitis Media Serosa
a.       Otitis Media Serosa Aku
b.      Otitis Media Kronik
3.      Otitis Media Spesifik, seperti otitis media sifilitika atau otitis media  tuberkulosa.
4.      Otitis Media Adhesiva

Gambar  2. Patogensis terjadinya otitis media OMA-OMP-OMSK/OMP


 







Penatalaksanaan
Terapi tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditunjukkan untuk mengobati infeksi saluran nafas dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan antipiretik.
1.      Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba estachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes telinga HCl Efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak di atas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal harus diobati, antibiotic diberikan bila penyebabnya kuman.
2.      Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik bila membran timfani sudah terlihat hiperesmis difusi, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotic golongan penicillin/eritromisin. Jika terdapat resistensi dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat/sefalosporin. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4 x 50-100 mg/kg BB, amoksilin 4 x 40 mg/kg BB/hari atau eritromisin 4 x 40 mg/kg BB/hari.
3.      Stadium Supurasi
Selain antibiotic, pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timfani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
4.      Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
5.      Stadium Resolusi
Membran timfani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi menutup. Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu, bila tetap mungkin telah terjadi mastoiditis.

2.3    OMP (Otitis Media Perfolata)
Otitis Media Perfolata sama dengan otitis media supuratif kronis (OMSK), dalam bahasa sehari-hari di sebut Congek.
 Pengertian
OMA/OMP adalah infeksi kronik telinga tengah dengan perforate membran timfani dan keluarnya sekret dari telinga tengah secara terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer/kental, bening atau nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran (Efiaty Arsyad Soepardi, 1990).

 Etiologi
Etiologi pada OMP/OMSK ini merupakan kelanjutan OMA yang prosesnya sudah berjalan lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor penyebab adalah terapi yang terlambat, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh rendah, kebersihan buruk. Bila kurang dari 2 bulan disebut sub akut. Kuman penyebab biasanya gram positif aerob, sedangkan pada infeksi yang telah berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram negatif dan anaerob (Nurbaiti Iskandar, 1990).

 Patofisiologi
Dibagi dalam 2 jenis yaitu : benigna/tipe mukosa dan maligna atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timfani secara aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang.
Pada benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai tulang, Perforasi terletak di sentral jarang menimbulkan komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. Sedangkan tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak marginal sub total/diatik sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya/fatal (Arif Mansjoer, 1999).

 Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh otore, vertigo, tinnitus, rasa penuh di telinga atau gangguan pendengaran. Mengingat bahaya komplikasi, OMSK maligna harus dideteksi sejak dini, beberapa tanda klinis sebagai pedoman adalah perforasi pada marginal/atik, abses atau fistel retriautikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari telinga tengah, kolesteatom pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah dan berbau khas.

 Komplikasi
1.      Paralisis nervus fasialis
2.      Fistula labirin
3.      Labirintitis
4.      Labirintitis supuratif.
5.      Petrositis
6.      Tromboflebitis sinus lateral
7.      Abses ekstradural
8.      Abses subdural
9.      Meningitis
10.  Abses otak
11.  Hidrosefalus otitis

 Pemeriksaan Penunjang
Terlihat bayangan kolesteatom pada foto mastoid.

                         Penatalaksanaan
Terapinya sering lama dan harus berulang-ulang karena :
1.      Adanya perforasi membran timfani yang permanen.
2.      Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal.
3.      Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
4.      Gizi dan kebersihan yang kurang.
Prinsip terapi OMSK benigna adalah konservatif/medikamentosa bila sekret keluar terus, diberikan obat cuci telinga yaitu larutan H2O3 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang dilanjutkan dengan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kartikosteroid tidak lebih dari 1-2 minggu karena obat bersifat ototoksit. Bila sekret telah kering namun perforasi tetap ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka harus dirujuk untuk miringoplasti atau timpanoplasti.
Prinsip therapy OMSK maligna adalah pembedahan yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi medikamentosa hanya bersifat sementara sebelum pembedahan.

2.4           Hubungan Umur Anak Sakit ISPA dengan Kejadian Komplikasi OMA/OMP
Menurut Nurbaiti Iskandar (1990) pada umur di bawah 5 tahun anak sering mengalami penyakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP. Khususnya pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan agak horizontal letaknya. Sedangkan pada orang dewasa, kemungkinan dapat terjadi tetapi jarang (Efiaty Arsyad Soepardi, 1990).
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas (Ngastiyah, 2005).

2.5    Asuhan Keperawatan
Riwayat Kesehatan
1.     Data Dasar Pengkajian
a.   Aktivitas/istirahat
1)    Gejala    :  - Kelemahan, kelelahan
                      - Insomnia
2)    Tanda    :  - Latergi
                      - Penurunan toleransi terhadap aktivitas
b.   Sirkulasi
1)    Gejala    :  Riwayat adanya / GJK kronik
2)    Tanda    :  - Takikardia
                      - Penampilan kemerahan atau pucat
c.   Integritas ego
1)    Gejala    :  Banyaknya stressor, masalah finansial.

d.  Makanan/cairan
1)    Gejala    :  - Kehilangan nafsu makan, mual/muntah
2)    Tanda    :  - Distensi abdomen
                      - Hiperaktif bunyi usus
                      - Kulit kering dengan turgor buruk
                      - Penampilan kakeksia (malnutrisi)
e.   Neurosensori
1)    Gejala    :  Sakit kepala daerah frontal (influenza)
2)    Tanda    :  Perubahan mental (bingung, somnolen)
f.    Nyeri/kenyamanan
1)    Gejala    :  - Sakit kepala
                      - Nyeri di bagian telinga
2)    Tanda    :  Melindungi area yang sakit (pasien umumnya tidur pada posisi / sisi yang sakit untuk membatasi gerakan)
g.   Pernapasan
1)    Gejala    :  - Takipnea, dispnea progresif
                      - Pernapasan dangkal
                      - Pelebaran nasal
2)    Tanda    :  - Sputum : merah muda
                      - Bunyi napas : menurun
                      - Warna : pucat atau sianosis bibir/kuku.

h.   Keamanan
1)    Gejala    :  - Riwayat gangguan sistem imun
                      - Demam (misal : 38,5-39,6oC)
2)    Tanda    :  - Berkeringat
                      - Kemerahan/edema pada bagian telinga
i.     Penyuluhan/pembelajaran
1)    Gejala    :  Riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis.
2)    Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : 6,8 hari
3)    Rencana pemulangan :
a)      Bantuan dengan perawatan diri
b)      Tugas pemeliharaan rumah
2.     Prioritas Keperawatan
a.   Mempertahankan / memperbaiki fungsi pendengaran
b.  Mencegah komplikasi
c.   Mendukung proses penyembuhan
d.  Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan pengobatan.
3.     Tujuan Pemulangan
a.   Fungsi pendengaran sudah membaik untuk kebutuhan individu
b.   Komplikasi dicegah/diminimalkan.
c.   Proses penyakit/prognosis dan program terapi dipahami.
d.  Perubahan pola hidup teridentifikasi/dilakukan untuk mencegah kekambuhan

Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul
1.     Nyeri akut berhubungan dengan peradangan di bagian telinga
2.     Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran.
3.     Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan mastoidektomi.
4.     Perubahan persepsi sensori auditoris berhubungan dengan kelainan telinga/adanya benda asing di telinga.
5.     Resiko terhadap trauma berhubungan dengan kesulitan keseimbangan/ vertigo selama periode pasca operatif segera.
6.     Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan potensial kerusakan saraf korda timpani.
7.     Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembedahan telinga.
8.     Kurang pengetahuan mengenai penyakit mastoid berhubungan dengan kurangnya informasi.
9.     Pola nafas tak efektif berhubungan dengan penurunan energi, kelemahan.
10. Nyeri (akut) berhubungan dengan inflamasi parenkim paru
11. Intoleransi / aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Rencana Asuhan Keperawatan
1.    Nyeri akut berhubungan dengan peradangan di bagian telinga
Tujuan    : Masalah nyeri akut dapat teratasi
Kriteria  : - Tidak memperlihatkan nyeri/mengernyitkan wajah, mengeluh atau menangis
                   -    Meminum analgetik bila diperlukan
Intervensi :
a.    Tentukan karakteristik nyeri berdasarkan deskripsi pasien.
Rasional :  Menetapkan dasar untuk mengkaji perbaikan/ perubahan-perubahan
b.   Kaji derajat ketidaknyamanan / nyeri
Rasional  :  Derajat nyeri secara langsung berhubungan dengan luasnya kekurangan sirkulasi. Proses inflamasi, derajat hipoksia dan edema luas sehubungan dengan terbentuknya trombus.
c.    Pertahankan tirah baring selama fase akut
Rasional  :  Menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan kontraksi otot dan gerakan
d.   Pantau tanda vital, catat peninggian suhu
Rasional  :  Peninggian frekuensi jantung dapat menunjukkan peningkatan nyeri/ ketidaknyamanan atau terjadi respons terhadap demam dan proses inflamasi.

e.    Berikan obat sesuai indikasi :
1)   Analgesik
Rasional  :  Mengurangi nyeri dan menurunkan tegangan otot
2)   Antipiretik, contoh : asetaminofen
Rasional  :  Menurunkan demam dan inflamasi. Catatan : resiko perdarahan mungkin meningkat oleh adanya penggunaan obat yang mempengaruhi fungsi trombosit.
2.    Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran.
Tujuan    : Masalah ansietas dapat teratasi
Kriteria  : - Melaporkan takut/ ansietas hilang atau menurun sampai tingkat yang dapat ditangani
                   -    Penampilan rileks dan istirahat tidur dengan tepat
Intervensi :
a.   Catat derajat ansietas dan takut. Informasikan pasien/orang terdekat bahwa perasaannya normal dan dorong mengekspresikan perasaan.
Rasional  : Pemahaman bahwa perasaan (dimana berdasarkan situasi stress di bawah ketidakseimbangan oksigen yang mengancam). Normal dapat membantu pasien meningkat beberapa perasaan kontrol emosi.
b.  Jelaskan proses penyakit dan prosedur dalam tingkat kemampuan pasien untuk memahami dan menangani informasi
Rasional  :  Menghilangkan ansietas karena ketidaktahuan dan menurunkan takut tentang keamanan pribadi. Pada fase dini penjelasan perlu diulang dengan sering dan singkat karena pasien mengalami penurunan lingkup perhatian.
c.   Berikan tindakan kenyamanan, misal : pijatan punggung, perubahan posisi
Rasional  :  Alat untuk menurunkan stress dan perhatian tak langsung untuk meningkatkan relaksasi dan kemampuan koping.
d.  Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku membantu, misal : posisi yang nyaman, teknik relaksasi
Rasional  :  Memberikan pasien tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan tegangan otot
e.   Tinggal dengan pasien atau membuat perjanjian dengan seseorang untuk menunggu selama serangan akut.
Rasional  :  Membantu dalam menurunkan ansietas yang berhubungan dengan penolakan adanya dispnea berat/perasaan mau pingsan.
f.   Kembangkan program aktivitas dalam batas kemampuan fisik
Rasional  :  Memberikan kesehatan untuk membentuk energi dengan perasaan.


3.    Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan mastoidektomi
Tujuan    : Masalah resiko tinggi terhadap infeksi dapat teratasi
Kriteria  : - Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi
                   -    Menunjukkan teknik/ melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman
Intervensi :
a.   Kaji patologi penyakit (aktif/fase aktif, diseminasi infeksi melalui bronkus untuk membatasi jaringan atau melalui aliran darah / sistem limfatik)
Rasional :  Membantu pasien menyadari/ menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang/komplikasi.
b.   Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib/ teman
Rasional  :  Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi
c.   Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, contoh masker atau isolasi pernapasan
Rasional  :  Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan membuang shema sosial sehubungan dengan penyakit menular.
d.  Awasi suhu sesuai indikasi
Rasional  :  Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
e.   Dorong memilih/mencerna makanan seimbang
Rasional  :  Adanya anoreksia dan atau malnutrisi sebelumnya merendahkan tahanan terhadap proses infeksi dan mengganggu penyembuhan
4.    Pola nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeabronkial, pembentukan udema, peningkatan produksi sputum.
Tujuan    : Pola nafas menjadi efektif
Kriteria  : - Bunyi napas normal
                   -    Tak ada dispnea dan sianosis.
Intervensi :
a.    Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi)
Rasional  :  Cairan (khususya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
b.   Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, analgesik.
Rasional  :  Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret. Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan upaya batuk/menekan pernapasan.
c.    Bantu pasien latihan nafas sering
Rasional  :  Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan napas lebih kecil.
5.    Nyeri (akut) berhubungan dengan inflamasi parenkim paru
Tujuan    : Rasa nyeri hilang
Kriteria  : - Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi
                   -    Menunjukkan teknik/ melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman
Intervensi :
a.    Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
Rasional  :  Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
b.    Tentukan karakteristik nyeri, misal : tajam, konstan, ditusuk.
Rasional :  Nyeri dada, biasanya ada dalam beberapa derajat pada pneumonia.
c.    Anjurkan pembersihan mulut dengan sering
Rasional  :  Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
6.    Intoleransi/aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan    : Masalah resiko tinggi terhadap infeksi dapat teratasi
Kriteria  : - Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi
                   -    Menunjukkan teknik/ melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman
Intervensi :
a.   Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan/atau tidur.
Rasional :  Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi, atau menunduk kedepan meja atau bantal.
b.   Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
Rasional  :  Memininalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

2.6    Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan teori umur anak penderita ISPA menjadi variabel independent, sedangkan pada penelitian ini yang mengalami komplikasi OMA/OMP merupakan dependent, diukur dengan menggunakan pengumpulan data.
Untuk lebih jelasnya uraian tentang kerangka konsep maka peneliti menyusun variabel-variabel seperti di bawah ini :
Umur anak Penderita ISPA
 
Variabel Independent                           Variabel Dependent


 



2.7    Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
1
Independent
Umur anak penderita ISPA

Balita = 0-5 tahun
Anak non Balita
6-12 tahun


Dokumen tasi

Check list

Balita 0-5 tahun skor = 1

Non Balita 6-12 tahun skor = 0


Ordinal
2
Dependent
OMA



OMP



Peradangan akut sebagian/ seluruh periostenum telinga tengah

Infeksi kronik telinga tengah dengan perforate membran timpani dan keluarnya secret dari telinga tengah secara terus menerus atau hilang timbul.

Dokumen tasi







Check list






OMA/OMP
Ya skor = 1
OMA/OMP
Tidak skor = 0

Ordinal




2.8    Hipotesis
Ho   :   Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
Ha   :   Ada hubungan yang signifikan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1    Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dan objek penelitian adalah semua pasien ISPA yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dari tahun 2006 sampai dengan Maret 2007. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2007.

3.2    Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien penderita ISPA anak yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dari tahun 2006 sampai dengan Maret 2007.  Penentuan sampel dalam penelitian ini adalah semua anak dengan ISPA yang berobat di Poliklinik THT di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu dari tahun 2006 sampai dengan Maret 2007.

3.3    Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara deskriptif kuantitatif.

3.4    Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dengan menggunakan dokumentasi adalah data yang diperoleh dari hasil dokumentasi/rekam medik selama bulan Juni dan Juli 2007.
3.5    Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan bantuan program seperti komputer, melalui beberapa tahap antara lain :
1.      Editing yaitu untuk melihat apakah isi jawaban/data yang akan diolah tersebut sudah tersedia lengkap dan apakah sudah relevan dengan tujuan penelitian.
2.      Coding  yaitu kode pada setiap jawaban. Penelitian memberi kode terhadap jawaban yang diberikan responden agar lebih mudah dan sederhana.
3.      Entry yaitu memasukkan data yang sudah dilakukan editing dan coding tersebut ke dalam komputer dan menggunakan perangkat lunak komputer.
4.      Clearing, yaitu untuk memastikan apakah semua data sudah siap dianalisis.
Dilanjutkan dengan pengujian secara statistik dengan menggunakan uji statistik.

3.6    Teknik Analisis Data
1.      Analisis Univariat yaitu untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel.
2.      Analisis Bivariat yaitu untuk melihat hubungan antara umur anak sakit ISPA dengan kejadian komplikasi OMA/OMP dengan menggunakan uji statistik Chi-square.





DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ke 3. Media Aesculapius. FKUI : Jakarta.

Brunner dan Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Vol. 3. EGC : Jakarta.

Depkes RI. (1994). Buku Pedoman Pelaksanaan Program Penyakit ISPA. Depkes RI : Jakarta.

--------------. (1995). Bimbingan Keterampilan Dalam Tatalaksana Penderita ISPA Pada Anak. Depkes RI : Jakarta.

--------------. (1998). Penatalaksanaan Penderita ISPA dan Diare Untuk Petugas Kesehatan. Depkes RI : Jakarta.

--------------. (2000). Pedoman Pemberantasan Penyakit Menular. Depkes RI : Jakarta.

--------------. (2002). Pedoman Kajian dan Pemanfaatan Penimbangan Bulanan Anak Balita. Depkes RI : Jakarta.

Dinkes Provinsi Bengkulu. (2003). Profil Kesehatan  Bengkulu Tahun 2002. Bengkulu

Effiaty Arsyad Soepardi (1990). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan Edisi ke 4. EGC : Jakarta.

Horrison (2000). Ilmu Penyakit Dalam, Edisi. 11, EGC : Jakarta.

Nelson. (1992). Ilmu Kesehatan Anak, EGC : Jakarta.

Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. EGC : Jakarta.

Notoatmodjo, S. (2002). Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.

Nurbaiti Iskandar. (2001). Buku Telinga Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi Kelima. FKUI : Jakarta.
Richard. (1992). Ilmu Penyakit ISPA. Jakarta.

Sylvia Anderson. (1997). Patofisiologi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.

Widjaja C. Anton. (2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang. EGC : Jakarta.

--------------------------------. Program Untuk Pengawasan Infeksi Saluran Akut. EGC : Jakarta.


No comments:

Post a Comment