BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia menetapkan
“Indonesia Sehat 2010” sebagai visi untuk mencapai pembangunan kesehatan secara
optimal. Diharapkan dengan visi ini akan tercapai masyarakat, bangsa dan negara
yang hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata seta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Demikian juga untuk
Propinsi Bengkulu yang menetapkan visi dalam pembangunan kesehatan adalah :
“Bengkulu Sehat 2010” (Dinkes Propinsi Bengkulu, 2005).
Untuk pencapaian visi tersebut,
pemerintah melakukan berbagai upaya kesehatan yang diprioritaskan pada upaya
preventif dan promotif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.
Termasuk dalam upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai macam penyakit
diantaranya penyakit diare.
Di Indonesia saat ini penyakit diare
masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama, hal ini disebabkan
masih tingginya angka kesakitan diare yang menimbulkan dampak kematian terutama
pada bagi dan balita. Selain itu karena diare merupakan penyakit menular yang
dapat menimbulkan wabah serta kejadian luar biasa. Angka kematian diare di
Indonesia adalah 350.000 per tahun yaitu 25% sampai 30% dari seluruh kematian
yaitu terjadi pada balita (Depkes RI, 2001).
Dari hasil survey kesehatan nasional
tahun 2004 menunjukkan bahwa angka kesakitan diare sebanyak 374 per 1000
penduduk, untuk Propinsi Bengkulu angka kesakitan diare sebanyak 19.059 per
100.000 penduduk, dimana 38,3% adalah balita (Dinkes Propinsi Bengkulu, 2005).
Sedangkan angka kesakitan diare pada balita di Kota Bengkulu berjumlah 3.674
(93,3%) dari 39.371 balita (DKK Bengkulu, 2005). Adapun jumlah kasus diare di
seluruh puskesmas Kota Bengkulu dapat dilihat dari tabel 1.1. sebagai berikut :
Tabel 1.1
Jumlah Kasus Diare di Puskesmas
Dinas Kesehatan Kota Bengkulu Tahun 2005
No
|
Nama Puskesmas
|
Diare
|
|||
Jumlah
Kasus
|
Jumlah Diare
Pada Balita
|
Balita Ditangani
|
% Balita Ditangani
|
||
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
|
Jembatan Kecil
Jalan Gedang
Lingkar Barat
Lingkar Timur
Kuala Lempuing
Nusa Indah
Sawah Lebar
Anggut Atas
Pasar Ikan
Kampung Bali
Sukamerindu
Ratu Agung
Beringin Raya
Basuki Rahmat
Betungan
Kandang
Padang Serai
|
382
446
218
814
330
232
462
459
887
172
1123
488
191
1006
303
162
292
|
151
191
87
388
189
113
193
223
410
134
608
210
86
400
120
60
111
|
151
191
87
388
189
113
193
223
410
134
608
210
86
400
120
60
111
|
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
|
|
Jumlah
|
7.967
|
3.674
|
3.674
|
100,00
|
Sumber : Dinas Kesehatan
Kota Bengkulu Tahun 2005
Berdasarkan tabel 1.1. di atas,
apabila jumlah kasus diare tersebut dilihat berdasarkan Puskesmas yang ada di
Kota Bengkulu, baik jumlah kasus diare secara umum maupun jumlah balita yang
mengalami diare tertinggi adalah di Puskesmas Sukamerindu, sedangkan jumlah
balita yang terkena diare terendah adalah di Puskesmas Kandang.
Menurut Handoko dan Suharyono dalam
Septi (2005) pendukung upaya menurunnya angka kesakitan penyakit diare
dipengaruhi banyak faktor, misalnya pendidikan, pengetahuan ibu. Semakin tinggi
tingkat pendidikan dan pengetahuan semakin tinggi kemampuannya dalam upaya
penurunan angka kesakitan penyakit diare. Partisipasi ibu juga sangat membantu
dalam pencegahan dehidrasi agar keadaan diare tidak memburuk dan angka kematian
karena diare menurun.
Upaya penurunan angka kesakitan dan
pencegahan penyakit diare tergantung banyak faktor terutama adalah pengetahuan
dan kesadaran orang tua mengetahui diare yang dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan ibu. Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih cenderung menanamkan
dan melaksanakan hidup sehat dari pendidikan yang diterimanya. Sedangkan yang
berpendidikan rendah dalam pelaksanaan hidup sehat hanya berdasarkan pengalaman
yang didapatnya tanpa mempertimbangkan dan menganalisis akibat yang terjadi
(Hasan, 1997).
Dari survey awal pada tanggal 8 Mei
2006 ada 5 orang ibu yang membawa balitanya berobat ke Puskesmas Sukamerindu
Bengkulu, karena penyakit diare, dimana-mana ibu tersebut pendidikannya
berbeda-beda, ada yang pendidikannya SD, SLTP, SMA. Saat ditanya bagaimana
upaya orangtua balita dalam upaya pencegahan penyakit diare, sebagian
memberikan jawaban yang kurang tepat.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan tingkat pendidikan dan
pengetahuan ibu dengan upaya pencegahan penyakit diare pada balita di Puskesmas
Sukameridu Bengkulu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah tingginya angka
kejadian diare pada balita di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu. Adapun rumusan
masalah penelitiannya adalah bagaimanakah hubungan tingkat pendidikan dan
tingkat pengetahuan ibu dengan angka kejadian diare pada balita di Puskesmas
sukamerindu Bengkulu tahun 2006.
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat
pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu dengan angka kejadian diare pada balita
di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu.
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui gambaran
tingkat pendidikan ibu balita di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu.
b.
Untuk mengetahui gambaran
tingkat pengetahuan ibu tentang diare.
c.
Untuk mengetahui hubungan
tingkat pendidikan ibu dengan angka kejadian diare pada balita di Puskesmas
Sukamerindu Bengkulu.
d.
Untuk mengetahui hubungan
tingkat pengetahuan ibu dengan angka kejadian diare pada balita di Puskesmas
Sukamerindu Bengkulu.
D. Manfaat Penelitian
1.
Untuk bidang ilmu pengetahuan
Diharapkan dapat menambah informasi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan tentang hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu dengan
angka kejadian penyakit diare pada balita.
2.
Untuk Puskesmas Sukamerindu
Bengkulu
Hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan masukan dan
berguna dalam merencanakan, mengevaluasi serta menentukan kebijakan program
kesehatan khususnya untuk menurunkan angka kesakitan diare pada balita di
Puskesmas Sukamerindu Bengkulu.
3.
Untuk Akademik
Hasil penelitian ini berguna sebagai sumber atau
referensi untuk memperdalam pengetahuan tentang diare khususnya bagi mahasiswa
STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu.
4.
Untuk Peneliti Lain
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
data dasar dalam pengembangan penelitian berikutnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan sumber kepustakaan yang
penulis telusuri belum ada yang melakukan penelitian tentang diare dengan
menggunakan metode analitik, namun sudah ada penelitian deskriptif dengan judul
:
1.
Nurgus Septi (2005) dengan
judul “Gambaran Kejadian Diare pada Balita Ditinjau dari Tingkat Pendidikan dan
Pengetahuan Ibu di Puskesmas Lingkar Timur Bengkulu” dengan hasil penelitian :
pendidikan responden terbanyak adalah SD-SLTP (40%) dan pengetahuan responden
terbanyak adalah kurang (50%).
2.
Mareni Agustina (2004) dengan
judul “Gambaran Kejadian Diare Ditinjau dari Usia Balita dan Pendidikan Ibu di
Puskesmas Lingkar Timur Bengkulu” dengan hasil penelitian : kejadian diare
lebih banyak terjadi pada balita usia > 1-3 tahun dengan ibu yang
berpendidikan SLTA.
Perbedaan dengan penelitian
sebelumnya adalah teknik analisa yang digunakan, waktu dan tempat penelitian.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Diare
1.
Pengertian
a.
Menurut Depkes RI (2000)
Diare adalah merupakan buang air besar lembek atau cair
bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih dari 3 kali sehari.
b.
Menurut Mansjoer (2001)
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah
tinja yang lebih banyak dari biasanya dengan tinja berbentuk cairan atau
setengah cair (setengah padat) dapat pula disertai frekuensi defekasi yang
meningkat.
c.
Menurut Ngastiyah (1997)
Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih
dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak. Konsistensi feces encer
dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah.
2.
Klasifikasi
Menurut Suandi (1998) klasifikasi diare adalah :
a.
Diare akut
Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak
pada bayi dan anak-anak yang sebelumnya sehat.
b.
Diare kronik
Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 2
minggu disertai kehilangan berat badan atau tidak bertambah berat badannya
selama diare berlangsung.
3.
Etiologi
Etiologi diare menurut Ngastiyah
(1997) dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :
a.
Faktor infeksi
1)
Infeksi enteral yaitu infeksi
saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare anak meliputi :
a)
Infeksi bakteri : Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella,
Campylobakter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya.
b)
Infeksi Virus : Entrovirus (Virus Echo, Coxsackie, Poliomyelitis), adenovirus, rotavirus, astrovirus dan
sebagainya.
c)
Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongloides),
Protozoa (Entamoeba histolytica, giardia
lamblia, trichomonas hominis), jamur (candida
albicans).
2)
Infeksi parenteral yaitu
infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti otitis media akut
(OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya, keadaan
ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun.
b.
Faktor mal absorbsi
1)
Mal absorbsi karbohidrat :
disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi
glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang tersering ialah
intoleransi laktosa.
2)
Mal absorbsi lemak.
3)
Mal absorbsi protein.
c.
Faktor makanan
Yaitu seperti makanan basi, beracun, alergi terhadap
makanan.
d.
Faktor psikologi : rasa takut
dan cemas, walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang
lebih besar.
4.
Patogenesis dan Patofisiologis
a.
Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah
:
1)
Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat
diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus isi rongga usus yang
berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.
2)
Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada
dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam
rongga usus dan selanjutnya diare timbul
karena terdapat peningkatan isi rongga usus
3)
Gangguan mobilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang
selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
b.
Patofisiologis
Menurut Ngastiyah (1997) sebagai akibat diare baik akut
maupun kronis akan terjadi.
1)
Kehilangan air dan elektrolit
(dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan asam basa
(asidosis metabolik, hipokalemia dan sebagainya).
2)
Gangguan gizi sebagai akibat
kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran bertambah).
3)
Hipoglikemia
4)
Gangguan sirkulasi darah
5.
Gejala Klinis
Mula-mula bayi dan anak menjadi
cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare. Tinja makin berubah menjadi kehijau-hijauan karena
bercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya
defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam
laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum
atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau
akibat gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila penderita telah
kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak.
Berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi
cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering (Mansjoer,
2000).
6.
Pencegahan Diare
Menurut Depkes RI (2000), usaha ibu
dalam mencegah diare yang efektif dapat dilakukan dengan :
a.
Memberikan ASI
Dengan memberikan ASI saja tanpa cairan lain berarti
telah menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan
menyebabkan diare sehingga mengurangi akibat negatif terhadap masa pertumbuhan
dan keadaan gizi anak, karena di dalam ASI terkandung antibody dan zat-zat
lainnya.
b.
Menggunakan air bersih
Sebagian besar kuman penyebab diare ditularkan melalui
mulut, cairan atau benda tercemar dengan feses, misalnya air minum, jari-jari
tangan, makanan atau sayuran yang belum dimasak atau dicuci dengan air yang
sudah tercemar. Masyarakat yang menggunakan air yang benar-benar bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat
yang tidak mendapatkan air bersih.
c.
Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan
yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan dengan sabun,
terutama setelah menyentuh feses anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum
menyuapi makan anak dan sebelum makan dan lain-lain.
d.
Menggunakan WC
Upaya dalam penggunaan WC mempunyai dampak yang besar
dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. Keluarga harus mempunyai WC
yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga. Bila tidak
ada WC, buang air besar hendaknya jauh dari kuman dengan jarak lebih kurang 10
meter dari sumber air.
e.
Membuang feses dengan benar.
Feses bayi harus dibuang secara benar yaitu dibuang di
WC dan apabila tidak memiliki WC pilih tempat untuk membuang feses anak seperti
dalam lubang kemudian ditimbun.
Mengingat bahwa penularan penyakit
diare melalui “4 F” (finger, feces, food dan
fly), maka penyuluhan yang penting
adalah :
a.
Kebersihan perorangan pada
anak. Mencuci tangan sebelum makan dan setiap habis bermain, memakai alas kaki
jika bermain di tanah.
b.
Membiasakan anak buang air
besar di jamban dan jamban harus selalu bersih agar tidak ada lalat.
c.
Kebersihan lingkungan untuk
menghindari adanya lalat.
d.
Kepada anak yang sudah dapat
membeli makanan sendiri agar diajarkan untuk tidak membeli makanan yang
dijajankan terbuka.
e.
Air minum harus selalu dimasak.
Bila sedang berjangkit penyakit diare selain air harus yang bersih juga perlu
dimasak mendidih lebih lama.
7.
Komplikasi
Akibat dari diare dapat terjadi berbagai komplikasi seperti
:
a.
Dehidrasi (kehilangan cairan
dan elektrolit)
1)
Dehidrasi ringan
Defisit cairan 5% berat badan maka dehidrasinya bersifat
ringan dan satu-satunya gejala dehidrasi yang jelas ialah haus.
2)
Dehidrasi sedang
Defisit cairan 5-10% berat badan dengan tanda berat
badan turun, turgor kulit menurun, mata cekung dan mukosa mulut kering.
3)
Dehidrasi berat
Defisit cairan 10% atau lebih 10% berat badan dengan
keadaan volume darah akan berkurang, nadi cepat dan lemah, denyut jantung
cepat, tekanan darah menurun, kesadaran menurun yang diakhiri dengan shock.
b.
Hipoglikemia
Lebih sering terjadi pada anak dengan malnutrisi yang
dapat menimbulkan kejang dan koma.
c.
Hipokalemia
Dengan gejala lemah otot, aritmia henti jantung dan
illeus paraletik atau distensi abdomen.
d.
Dehidrasi hipertonik
Hilangnya air lebih banyak daripada elektrolit atau
pemasukan elektrolit lebih banyak dari pada air, mengakibatkan dehidrasi
hipertonik.
e.
Malnutrisi
Adanya malabsorbsi glukosa akibat menurunnya absorbsi
air dan natrium dan terdapat banyak cairan dalam lumen usus.
8.
Penatalaksanaan
Dasar pengobatan diare adalah :
a.
Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare
dengan memperhatikan derajat dehidrasinya and keadaan umum.
1)
Jenis cairan
a)
Cairan peroral
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan
diberikan peroral melalui cairan yang berisikan NaCl dan NaHCO3, KCl
dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak di atas umur 6 bulan kadar natrium
90 mEg/l. Formula lengkap sering disebut oralit. Cairan sederhana yang dapat
dibuat sendiri (formula tidak lengkap) hanya mengandung garam dan gula (NaCl
dan Sukrosa), atau air tajin yang diberi garam dan gula, untuk pengobatan
sementara di rumah sebelum di bawa berobat di rumah sakit atau pelayanan
kesehatan untuk mencegah dehidrasi lebih jauh.
b)
Cairan parenteral.
Jenis cairan yang diberikan adalah ringer laktat (RL) 4
: 1 (4 bagian glukosa 5-10% 1 bagian NaHCO3 1,5% atau 4 bagian
glukosa 5-10% 1 bagian Nacl 0,9%.
2)
Cara memberikan cairan :
a)
Belum ada dehidrasi
Peroral sebanyak anak mau minum atau 1 gelas setiap kali
buang air besar.
b)
Dehidrasi ringan
(1)
Jam pertama
25-50 ml/kg BB peroral/intragastrik (sonde).
(2)
Selanjutnya
125 ml/kg BB/hari ad libitum.
c)
Dehidrasi sedang
(1)
Jam pertama
25-50 ml/kg BB peroral/intragastrik (sonde).
(2)
Selanjutnya
125 ml/kg BB/hari ad libitum.
d)
Dehidrasi berat
(1)
Untuk anak umur 1 bulan-2 tahun
berat badan 3-10 kg :
1 jam pertama : 40 ml/kg BB/jam (set infus berukuran 1
ml = 15 tetes) atau 13 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml = 20 tetes). 7 jam
berikutnya : 12 ml/kg Bb/jam = 3 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml = 15 tetes)
atau 4 tetes ml/kg BB/menit (set infus 1 ml = 20 tetes).
16 jam berikutnya : 125 ml/kg BB oralit per oral atau
intragastrik. Bila anak tidak mau minum, teruskan dengan aa intravena 2
tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml = 15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (1 ml =
20 tetes).
(2)
Untuk anak lebih dari 2-5 tahun
berat badan 10-15 kg :
1 jam pertama : 30 ml/kg BB/jam atau 8 tetes/kg BB/menit
(1 ml = 15 tetes) atau 10 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
7 jam berikutnya : 10 ml/kg Bb/jam atau 3 tetes/kg BB/menit
(1 ml = 15 tetes) atau 4 tetes ml/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
16 jam berikutnya : 125 ml/kg BB oralit per oral atau
intragastrik. Bila anak tidak mau minum, teruskan dengan aa intravena 2
tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
b.
Pengobatan Dietetik
1)
Untuk anak di bawah satu tahun
dan di atas satu tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg.
a)
Susu (ASI) dan atau formula
yang mengandung laktosa rendah dan asam lemak tidak jenuh, misalnya (LM,
Almiron)
b)
Makanan setengah padat (bubur
susu atau makanan padat (nasi tim) bila anak sudah terbiasa diberi makanan
padat.
c)
Susu khusus yaitu susu yang
tidak mengandung laktosa atau susu dengan asam lemak berantai sedang/tidak jenuh,
sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
Hari ke 1
: Setelah
rehidrasi segera berikan makanan peroral bila diberi ASI atau susu formula,
diare masih sering hendaknya diberi tambahan oralit atau air tawar 1 x ASI/Susu
fomula rendah laktosa, 1 oralit dan air tawar.
Hari 2-4 : ASI/susu
formula rendah laktosa penuh
Hari 5 : ASI/susu
formula seperti SEM, lactogen, dancow dan sebagainya dengan menu makanan sesuai
dengan umur dan berat badan.
2)
Untuk anak di atas 1 tahun
dengan berat badan lebih 7 kg
Jenis makanan :
Makanan padat atau makanan cair/sesuai dengan kebiasaan
makan di rumah.
Hari 1 : Setelah
rehidrasi segera diberikan makanan seperti buang (pisang), biskuit, bubur ayam,
ASI dan sebagainya.
Hari 2 : buah,
biskuit, dan ASI
Hari 3 : nasi
tim, buah, biskuit dan ASI
Hari 4 : makan
biasa dengan extra kalori (1 ½ kali kebutuhan)
Hari 5 : dipulangkan
dengan extra kalori 1 ½ kali kebutuhan (Ngastiyah, 1997).
c.
Obat-Obatan
Prinsip pengobatan diare menurut
Ngastiyah (1997) ialah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan
atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau
karbohidrat lain (gula, air tajin, oralit).
1)
Obat anti sekresi
a)
Asitosal, dosis 25 mg/tahun
dengan dosisi minimum 30 mg.
b)
Klorpromasin dosis 0,5 sampai 1
mg/kg BB/hari.
2)
Obat spasmolitik dan lain-lain.
Umumnya spasmolitik seperti papaverin, ekstrak beladona, opium loperamide tidak
digunakan untuk mengatasi diare akut lagi. Obat pengeras tinja seperti kaolin,
pectin, charcoal Tabonal, tidak ada manfaatnya untuk mengatasi diare sehingga
tidak diberikan lagi.
3)
Anti biotik
Umumnya anti biotik tidak diberikan bila tidak ada
penyebab jelas. Penyebabnya kolera diberikan tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari.
Anti biotik juga diberikan bila terdapat penyakit penyerta seperti OMA,
faringitis bronkitis atau bronco pneumonia.
B. Konsep Pendidikan
1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah proses dasar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan sehingga terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih
matang pada individu atau kelompok (Notoatmodjo, 1997).
2.
Jenis-jenis Pendidikan
Pendidikan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a.
Pendidikan formal yaitu
pendidikan yang dimulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan
tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, dan perguruan tinggi.
b.
Pendidikan informasi yaitu
pendidikan yang dapat diperoleh melalui kursus-kursus (les prifat) maupun
melalui pelatihan.
3.
Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan
yang berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta
didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran (UU RI No. 20, 2003).
a.
Pendidikan Dasar
Warga negara yang berumur 6 atau 7 tahun berkewajiban
mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat SLTP.
b.
Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang lamanya 3 tahun sesudah
pendidikan dasar diselenggarakan di SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau
pendidikan yang sederajat.
c.
Pendidikan Tinggi
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk Akademik, Politeknik,
Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas dan termasuk perguruan tinggi D2, D3,
S1, S2 dan S3.
4.
Hubungan Pendidikan Terhadap
Kejadian Diare
Tinggi rendahnya pendidikan ibu
sangat era hubungannya dengan tingkat kesadaran ibu terhadap kesehatan
anak-anaknya dan keluarga. Ibu yang berpendidikan tinggi akan cenderung
melaksanakan hidup sehat sebagai dampak dari pendidikan yang diterimanya serta
akan cenderung dari pendidikan yang diterimanya serta selalu mempertimbangkan
hidup dan menganalisa akibat yang terjadi. Lain halnya dengan ibu yang
berpendidikan rendah dalam pelaksanaan hidup sehat hanya berdasarkan pengalaman
yang ada tanpa mempertimbangkan dan menganalisa akibat yang terjadi (Hasan,
1997).
Menurut pendapat Handoko dan
Suharyono dalam Septi (2005), semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan
semakin tinggi kemampuannya dalam upaya penurunan angka kesakitan penyakit
diare. Teori ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan orang tua dalam
melakukan perawatan diare. Kemudian partisipasi ibu juga sangat membantu dalam
pencegahan dehidrasi agar keadaan diare tidak memburuk dan angka kematian diare
menurun.
Makin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka semakin mudah seseorang menerima informasi (Notoatmodjo, 1997). Ini
dapat dihubungkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin
mudah menerima informasi tentang segala sesuatu yang terjadi termasuk informasi
tentang kesehatan dalam pencegahan penyakit menular khususnya pencegahan
penyakit diare yang banyak terjadi.
C. Konsep Pengetahuan
1.
Definisi
Menurut pendapat Notoatmodjo (2003)
pengetahuan adalah “hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang sebagian besar diperoleh
melalui mendengar dan melihat”. Kemudian menurut Sunantri (1998) pengertian
pengetahuan adalah apa yang diketahui manusia tentang objek tertentu.
Pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai cara baik melalui pengalaman atau
proses belajar di sekolah yang formal atau proses komunikasi baik langsung
maupun tidak langsung seperti membaca buku atau menonton televisi serta
mendengar radio.
2.
Unsur-unsur Pengetahuan
Menurut Langeveld dalam Achmad
(1994) ada 3 unsur pengetahuan yaitu :
a.
Pengamatan (mencamkan) yaitu
penggunaan indra atau bathin untuk menangkap objek.
b.
Sasaran (objek) yaitu suatu
yang menjadi bahan pengamatan.
c.
Kesadaran (jiwa) yaitu salah
satu dari alam yang ada pada diri manusia.
3.
Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003)
pengetahuan terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
a.
Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya termasuk mengingat kembali (recall), terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ini merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b.
Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui. Orang yang telah paham terhadap
objek atau materi harus dapat menjelaskan atau menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c.
Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi realita (sebenarnya),
misalnya penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam
kontek atau situasi yang lain.
d.
Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyebarkan materi
suatu objek ke dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan
kata kerja seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
e.
Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f.
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melaksanakan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
4.
Hubungan Pengetahuan Terhadap
Kejadian Diare
Menurut pendapat Handoko dan
Suharyono dalam Septi (2005), untuk mendukung upaya penurunan angka kesakitan
penyakit diare dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan dan
pengetahuan ibu. Menurut Ngastiyah (1997) salah satu faktor resiko yang ikut
berperan dalam timbulnya diare kebanyakan karena kurang pengetahuan orang tua
tentang hal-hal yang dapat menimbulkan diare terutama menyangkut “4 F” (Finger, Feces, Food dan Fly).
Semakin tinggi tingkat pendidikan
dan pengetahuan semakin tinggi kemampuannya dalam upaya penurunan angka
kesakitan penyakit diare. Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat Notoatmodjo
(1997), bahwa perilaku yang didasari atas pengetahuan akan lebih baik dibanding
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Djojo dan Husna (1998),
bahwa makin tinggi pengetahuan yang dimiliki seseorang, dengan pengetahuannya
akan mengembangkan sikap terhadap hidup sehat.
D. Hipotesis
1.
Ha : Ada hubungan bermakna
antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita.
2.
Ho : Tidak ada hubungan
bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita.
3.
Ha : Ada hubungan bermakna
antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada balita.
4.
Ho : tidak ada hubungan
bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada balita.
No comments:
Post a Comment